Sukari Darno, Figur Guru Pantang Menyerah (1)
Jadi Pak Bon, Gaji Awal Rp 55 Ribu untuk Beli Arloji
Catatan: Eko Prasetyo
Saya beruntung dapat berkenalan dengan guru hebat dari Gresik ini. Tahun lalu kisahnya nyaris diangkat oleh PIL Microsoft. Bahkan, wartawan Microsoft sempat mewawancarai dia di Jakarta. Kebetulan, guru muda ini merupakan salah seorang master teacher PIL Microsoft di Indonesia.
------
Tidak gengsian. Semangat itulah yang diusung Sukari Darno saat mencari kerja selepas lulus dari SMAN 1 Ploso, Jombang. Terlahir dari keluarga besar, sang ayah berpoligami dengan sembilan istri, saat SMA Sukari sudah harus membanting tulang untuk menutupi kebutuhannya sekolah.
Apa saja dia lakoni demi mendapat uang. Mulai jualan rumput, tahu goreng di pinggir jalan, hingga menjadi pemikul pasir di Sungai Brantas. ”Lha wong keterampilan memang tak punya,” tuturnya.
Kendati demikian, semangat pria kelahiran Jombang, 5 Mei 1972 tersebut tak surut. Ibaratnya, lanjut dia, meski cuma punya modal tenaga, sebisa-bisanya dimanfaatkan untuk bekerja mencari nafkah yang halal.
”Mau melanjutkan (kuliah), tapi nggak punya biaya sama sekali,” ujarnya.
Tak patah arang, pada pertengahan Juli 1992, Sukari mencoba mengadu nasib ke Surabaya. ”Saya datang ke ibu yang keberapa saya kurang tahu, ke-4 atau ke-5 atau ke-6. Sebab, urutannya nggak pernah saya tanyakan langsung ke orang tua,” tuturnya.
Sejak saat itu, Sukari tinggal kos di Margorejo Indah, Surabaya. ”Tepatnya, di depan UMC Wonokromo, dekat Giant yang sekarang,” terangnya.
Waktu satu bulan dia gunakan untuk mencari pekerjaan. Tiap sore, dia rajin membaca koran di depan UMC. Tujuannya adalah mencari lowongan pekerjaan. Mulai pekerja toko di Pasar Turi sampai toko bangunan. ”Tapi, nggak ada yang membutuhkan tenaga saya,” kata dia.
Akhirnya, pada 24 Agustus 1992, ada seorang tetangga yang menawari Sukari untuk bekerja. Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitu pikir Sukari.
Sang tetangga saat itu menjadi wakil kepala sarana prasarana. ”Namanya Pak In’am,” terang Sukari.
Tentu saja, Sukari menyambut antusias tawaran pekerjaan tersebut. Dia meneguhkan hatinya untuk siap bekerja sebagai apa pun asal halal.
Apa pekerjaan itu? ”Pak Bon,” jawab Sukari.
Pak Bon adalah sebutan untuk penjaga kebun atau petugas kebersihan di sekolah.
Kendati begitu, Sukari langsung mengiyakan dan menerima tawaran pekerjaan itu meski hanya menjadi seorang Pak Bon di SMA Muhammadiyah 1 Gresik.
Hal yang paling diingat Sukari saat itu adalah nasihat-nasihat Pak In’am. ”Beliau sekarang menjadi staf PDM Kabupaten Gresik,” ujar Sukari.
Pak In’am mengingatkan, ada lima hal yang mesti dicamkan Sukari sebelum bekerja sebagai Pak Bon.
Pertama, kerja harus didasari niat ikhlas karena Allah. Kedua, kerja harus jujur dan dapat memegang amanah dari orang lain. Ketiga, kerja harus semangat dan tidak boleh ada buruk sangka kepada teman. Keempat, hasil kerja harus tetap disyukuri. Sebab, itu adalah nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Kelima, carilah tempat kerja yang kondusif untuk tetap beribadah.
”Dari taushiyah itulah, saya menerima pekerjaan tersebut,” ucap Sukari mantap.
Sukari juga menerima pesan berharga lain dari Pak In’am.
”Carilah rezeki yang halal dan tidak boleh malu. Kamu boleh malu kalau melakukan dosa kepada Allah.” Begitulah nasihat yang menutup perjumpaan Sukari dengan Pak In’am.
Pada hari kerja pertama, Sukari harus menghadap pimpinan sekolah. Dia diberi tahu bahwa gajinya nanti sebesar Rp 55.000 per bulan.
”Oke saya terima,” tegas Sukari.
Saat itu dia mulai berhitung dengan pendapatannya sebagai Pak Bon.
”Kalau saya makan tiga kali, wah bisa habis gaji saya. Kemudian, saya atur makan hanya dua kali sehari. Sekali makan dan minum. Yakni, Rp 700 x 2,” ujarnya kepada saya.
”Alhamdulillah, gaji pertama saya masih sisa Rp 12 ribu. Itu akhirnya saya belikan arloji,” lanjutnya.
Saat menerima gaji pertamanya, Sukari diberi nasihat oleh kepala sekolah waktu itu, Dra Hj Sofiyah Mahrie. ”Beliau berpesan waktu memberikan gaji di dampingi bendahara Ibu Hj Nur Jannah,” tutur Sukari.
Apa pesan itu? ”Kalau sudah terima gaji, jangan terlalu berharap dengan jumlahnya. Sebab, berapa pun jumlah uang yang akan diterima, tidak akan pernah cukup. Dasarilah kerja itu dengan ikhlas karena Allah, pastilah nanti muncul rezeki yang tak terduga-duga.” (bersambung)
Post a Comment